Kekuatan Seorang Ayah

 

Stev dan Nev adalah anak usia empat tahun. Mereka berdua masuk Taman Kanak-kanak di kelas yang sama. Mereka memiliki kesamaan yaitu sama-sama pendiam. Mereka tampak rendah diri dibanding teman-teman yang lain. Dari cara memegang pensil, gunting tampak mereka tidak percaya diri. Mereka bukan tidak bisa mewarnai dengan rapi, bahkan mereka tidak berani mencoret-coret kertas kerja seperti yang sering dilakukan anak-anak lain.

Pada suatu hari Stev masuk halaman sekolah diantar ayahnya. Sebelum lonceng berbunyi, Stev memegangi ayahnya. Ia memeluk ayah, tidak mau bermain dengan teman-temannya. Sementara semua temannya berlari-lari, bermain di playground, ada juga yang duduk-duduk bersama teman-teman. Begitu juga dengan Nev. Nev memasuki halaman sekolah sendiri kemudian dia akan duduk di pojok halaman.

Miss R mendekati kedua anak ini setia hari untuk memberikan semangat dan dorongan. Dengan cara yang khusus, miss R mendorong mereka untuk berani. Setiap hari mengajak bercanda, miss R sering menyuruh mereka tersenyum. Ketika mereka ditanya, maka mereka menjawab dengan anggukan kepala atau berbisik. Miss R akan mengulang pertanyaan sampai mereka menjawab dengan suara yang terdengar. 

Stev seperti biasa bersembunyi dibalik kaki ayah karena takut pada miss R. miss R membiarkannya, tidak mengodainnya seperti biasa. Tapi suatu hari ketika Stev menunggu bel masuk kelas, ia memeluk ayah dengan erat. Tanpa Stev ketahui, miss R menghampirinya dan  langsung menangkapnya, menggendongnya tinggi-tinggi. Di depan ayahnya Miss R berkata : “Ayo, ini sekolah. Nggak usah sama papa lagi. Kalau di sekolah sama ms. R aja.” Stev tertawa, Miss R senang dengan reaksi tersebut. Ketika Miss R melepaskan,  Stev  lari menuju papanya yang tersenyum melihat kejadian tersebut.

Keesokan harinya, Miss R sedang berbincang-bincang dengan orang tua murid. Dengan sudut pandang matanya, Miss R melihat Stev memandang kearah saya dengan wajah agak takut. Papa Stev membungkuk dan  memegang pundaknya sambil menunjuk ke arah miss R. Papa Stev berkata : “itu Ms.R, ayo kamu beri salam”. Stev tampak ragu. Papa nya menepuk bahunya sambil berkata : “ayo nak, beri salam!” tiba-tiba Stev lari ke arah Miss R dan memberi salam. Walau miss R sedang berbincang-bincang, Miss R menyempatkan diri  menyambut salamnya. Seorang ayah telah membantu Miss R sebagai guru untuk menanamkan kepercayaan diri  pada seorang anak kecil pemiliki masa depan.

Bagaimana dengan Nev? hal yang sama Miss R lakukan pada Nev. Namun sampai saat ini miss R  masih berjuang untuk menanamkan harga diri padanya. Kemajuannya lambat, karena Nev sudah tidak punya seorang ayah. Seorang ayah  yang mendukungnya. Betapa sulitnya meningkatkan harga diri seorang anak yang tidak pernah dipuji atau didukung ayahnya.

Dari pengalaman ini sebagai seorang guru, anak-anak yang didukung orang tua terutama ayah akan tumbuh lebih sehat dibandingkan dengan anak tanpa kehadiran ayah. Maka penting sekali menghadirkan guru pria di taman kanak-kanak. Dengan harapan agar figure ayah akan hadir bagi anak-anak didik, terutama bagi mereka yang tidak punya ayah.

Statistik membuktikan bahwa orang-orang yang kehilangan kasih sayang dari ayahnya, akan tumbuh dengan kelainan prilaku, kecenderungan bunuh diri, dan menjadi criminal yang kejam. Sekitar 70% dari penghuni penjara dengan hukuman seumur hidup adalah orang-orang yang bertumbuh tanpa ayah.

Para ayah, Anda dirindukan dan dibutuhkan oleh anak-anak Anda. Jangan habiskan seluruh energy dan pikiran di tempat kerja, sehingga waktu tiba di rumah para ayah hanya memberikan “sisa-sisa” energy dan duduk menonton TV.

Peluk anak-anak Anda, dengarkan cerita mereka, ajarkan kebenaran dan moral. Dan Anda tidak akan menyesal, karena anak-anak Anda akan hidup sesuai jalan yang Anda ajarkan dan persiapkan.

Ayah yang sukses bukanlah pria paling kaya atau paling tinggi jabatannya di perusahaan  atau lembaga pemerintahan, tetapi seorang pria yang anaknya berkata :”Aku mau menjadi seperti ayah” atau “ Aku mau seorang suami yang seperti ayah.” Seorang ayah lebih berharga daripada 100 orang guru di sekolah. (George Herbert)